MENGUKUR KADAR KEIMANAN
Pemateri: Ustadzah Irnawati Syamsuir Koto
Edisi: 24 Januari 2018
Disinilah penting Iman karna hanya dengannyalah kita bisa menapaki jalan yang lurus yang menuntun kita pulang kesurga. Disaat kita meninggal dunia, Allah tak akan permasalahkan jika kita tak membawa serta rumah, mobil, harta benda kita, *namun jika tak ada iman, maka Allah akan murka*.
Permasalahan iman merupakan permasalahan terpenting seorang muslim, sebab iman menentukan nasib seorang didunia dan akhirat. Bahkan kebaikan dunia dan akhirat bersandar kepada iman yang benar. Dengan iman seseorang akan mendapatkan kehidupan yang baik di dunia dan akhirat serta keselamatan dari segala keburukan dan adzab Allah. Dengan iman seseorang akan mendapatkan pahala besar yang menjadi sebab masuk ke dalam surga dan selamat dari neraka. Lebih dari itu semua, mendapatkan keridhoan Allah Yang Maha kuasa sehingga Dia tidak akan murka kepadanya dan dapat merasakan kelezatan melihat wajah Allah diakherat nanti. Dengan demikian permasalahan ini seharusnya mendapatkan perhatian lebih dari kita semua.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menuturkan, “Hasil usaha jiwa dan qolbu (hati) yang terbaik dan penyebab seorang hamba mendapatkan ketinggian di dunia dan akhirat adalah ilmu dan iman.
Sebelum kita lanjutkan sejenak kita review kembali apa makna Iman :
*Pengertian iman dari bahasa Arab yang artinya percaya. Sedangkan menurut istilah, pengertian iman adalah membenarkan dengan hati, diucapkan dengan lisan, dan diamalkan dengan tindakan (perbuatan)*.
Jadi, Iman itu mencakup tiga hal :
1. Ikrar dengan hati.
2. Pengucapan dengan lisan.
3. Pengamalan dengan anggota badan
Dari 3 penjelasan diatas maka bisalah kita simpulkan bahwa Iman itu mempunyai kadarnya masing masing dihati ummat Islam. Karna masing masing kita tak sama kondisi dan posisinya.
Dan sudah dimaklumi bahwa banyak terdapat nash-nash al-Qur`an dan as-Sunnah yang menjelaskan pertambahan iman dan pengurangannya. Menjelaskan pemilik iman yang bertingkat-tingkat sebagiannya lebih sempurna imannya dari yang lainnya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berikut ini:
”Iman itu kadang naik kadang turun, maka perbaharuilah iman kalian dengan la ilaha illallah.” (HR Ibn Hibban)
Iman di dalam hati kita bukanlah sesuatu yang statis. Iman kita begitu dinamis. Bak gelombang air laut yang kadang pasang naik dan kadang pasang surut.
Begitulah kondisi hati kita. Sesuai dengan namanya, hati –dalam bahasa Arab qalban—selalu berubah-ubah (at-taqallub) dengan cepat. Rasulullah saw. berkata, “Dinamakan hati karena perubahannya. Sesungguhnya hati itu ialah laksana bulu yang menempel di pangkal pohon yang diubah oleh hembusan angin secara terbalik.” (Ahmad dalam Shahihul Jami’ no. 2365)
Karena itu Rasulullah saw. mengajarkan kepada kita sebuah doa agar Allah saw. menetapkan hati kita dalam ketaatan. “Ya Allah Yang membolak-balikan hati-hati manusia, balikanlah hati kami untuk taat kepada-Mu.” (Muslim )
*Sekarang pertanyaannya bagaimana kita mengukur kadar keimanan kita saat ini?*
Orang beriman adalah orang yang memiliki landasan hidup yang kukuh dan benar, yakni landasan hidup yang berdasarkan wahyu Allah SWT. Dengan landasan hidup tersebut orang beriman memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan manusia lain.
Ciri pertama yang kita bahas malam ini adalah :
Orang yang beriman maka hatinya akan dipenuhi Taqwa kepada Allah, yang berarti menjalankan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Taqwa juga berarti berhati-hati dalam hidup, yakin menjaga diri dari semua aturan yang diberikan Allah sebagai penciptanya. Taqwa kepada Allah menjadi kewajiban setiap muslim.
Firman Allah
“Hai orang-orang yang beriman, taqwalah kamu kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akherat). Bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS Al Hasyr: 18)
Orang orang yang bertaqwa maka mereka akan berada dalam ketaatan kepada Allah Azza Wajalla, melakukan amal ibadah dengan keteguhan hati, dan keistiqomahan.
Sering kita merasa sudah menjadi orang yang beriman karena sudah sudah masuk Islam, mengucapkan dua kalimat syahadat atau mempercayai apa-apa yang dinyatakan dalam rukun iman. Padahal keimanan harus dibuktikan dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangannya.
Di dalam ayat-ayat Al Qur'an, banyak disebutkan perintah dan larangan yang harus ditaati agar kita menjadi orang yang beriman, misal:
1.Harus berpuasa (Al Baqaran [2]: 183)
2.Harus banyak berzikir. (Al Ahzab [33] : 41)
3.Harus menjadi saksi yang adil (Al Maa'idah [5] : 8)
4.Dilarang merendahkan orang (Al Hujuraat [49] : 11)
5.Dilarang menyakiti orang yang diberi sedekah (QS Al Baqarah [2] : 264)
Ayat-ayat tersebut, umumnya diawali dengan kata panggilan, "Hai orang-orang yang beriman …". Jika perintah dan larangan tersebut diabaikan, maka bisa dikatakan kita tidak termasuk orang yang beriman, karena kita bukan orang yang terpanggil oleh ayat-ayat itu. Seberapa tinggi tingkat keimanan kita, dapat diukur dengan seberapa lapangnya hati kita mengikutinya.
Orang yang tinggi imannya akan melaksanakan perintah dan larangan tersebut dengan senang hati. Mereka yakin, perintah dan larangan tersebut pasti sesuatu yang baik bagi dirinya sendiri. Selanjutnya, perintah dan larangan tersebut akan menjadi sikap hidupnya sehari-hari. Orang yang lebih rendah imannya akan melaksanakan ayat-ayat tersebut karena takut dosa dan neraka. Dia akan melaksanakan ayat tersebut meskipun terasa tersiksa hidupnya.
Sedang orang yang rendah imannya akan menganalisa dan melakukan banyak pertimbangan untung-ruginya,sebelum melaksanakannya. Dia memilih ayat-ayat yang menguntungkannya, seolah-olah dia lebih pandai dari pada Allah dalam mengatur alam semesta.
berikutnya Orang yang Imannya sedang tinggi maka hilanglah kesedihannya terhadap masalah duniawi, mereka mampu menjalani ujian yang datang dari Allah dan mereka yakin bahwa ujian itu hanya menyertai orang orang beriman dan untuk meningkatkan derajat mereka disisi Allah Azza Wajalla. di surga ada tingkatan yang tidak dapat dicapai oleh seorang hamba dengan amalnya, apapun amalnya itu. Allah menyediakan kedudukan tertentu di surga bagi hamba hambanya beriman; bukan karena amal mereka melainkan karena ujian dan cobaan yang mendera mereka. Oleh karenanya Allah menyiapkan bagi mereka sebab sebab yang akan mengantarkan mereka kepada ujian dan cobaan itu. Ya, sama persis seperti halnya Dia memberikan taufik kepada mereka untuk beramal saleh yang juga merupakan sebab sebab yang akan menyampaikan mereka ke sana.
“Sesungguhnya pahala besar karena balasan untuk ujian yang berat. Sungguh, jika Allah mencintai suatu kaum, maka Dia akan menimpakan ujian untuk mereka. Barangsiapa yang ridho, maka ia yang akan meraih ridho Allah. Barangsiapa siapa yang tidak suka, maka Allah pun akan murka.” (HR. Ibnu Majah )
Cobaan kadang dapat meninggikan derajat seorang muslim di sisi Allah dan tanda bahwa Allah semakin menyayangi dirinya. Dan semakin tinggi kualitas imannya, semakin berat pula ujiannya. Namun ujian terberat ini akan dibalas dengan pahala yang besar pula. Sehingga kewajiban kita adalah bersabar. Sabar ini merupakan tanda keimanan dan kesempurnaan tauhidnya.
Dan sebaliknya jika diuji oleh Allah dan mereka berkeluh kesah maka itu pertanda kurangnya kesabaran dan kurangnya keimanan mereka kepada Allah Azza Wajalla bahkan sampai pada titik dimana mereka menghujat Allah dengan kalimat bahwa Allah tidak menyayanginya, Allah tidak adil pada mereka. Ketahuilah bahwa jika bukan karna kasih sayang Allah maka kita tak akan mampu hidup didunia ini. Jika bukan karna adilnya Allah maka entah apa yang akan kita alami didunia ini.
Keluh kesah adalah cermin lemahnya tawakal yang sekaligus proyeksi dari kelemahan iman seseorang. Ia merasa sendiri dan tidak ada yang layak dijadikan sandaran untuk dimintai pertolongan, ia juga tidak ingat bahwa takdir Allah meliputi segala sesuatu. Padahal Allah adalah sebaik-baik Pelindung dan sebaik- baik Penolong.
Allah berfirman, “Yaitu) orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: “Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.” (QS. Ali Imran: 173)
Dihadapan manusia, orang yang suka berkeluh kesah adalah sesosok pribadi yang rapuh yang niscaya akan dianggap lemah. Citranya, hanya butuh dikasihani dan diberikan rasa iba.
Next mengukur kadar iman bisa dengan melihat apakah dia mampu berhusnudzon .
Orang yang Imannya sedang bagus maka dia akan mampu berhusnudzan dalam menjalani lika liku hidupnya. husnuzan artinya berbaik sangka, lawan katanya adalah suuzan yang artinya berburuk sangka. Berbaik sangka dan berburuk sangka merupakan bisikan jiwa, yang dapat diwujudkan melalui perilaku yakni ucapan dan perbuatan. Pengertian husnuzan juga dapat diartikan sebagai sikap mental terpuji yang mendorong pemiliknya untuk bersikap, bertutur kata dan berbuat yang baik dan bermanfaat, sehingga dapat dikatakan bahwa husnuzan termasuk kedalam akhlak terpuji.
Adapun contoh-contoh perilaku husnuzan sebagai berikut:
1. Husnuzan terhadap Allah Swt
Husnuzan terhadap Allah Swt artinya berbaik sangka pada Allah Swt sebagai Tuhan Yang Maha Esa, Pencipta alam semesta dan segala isinya yang bersifat dengan segala sifat kesempurnaan serta bersih dari segala sifat kekurangan.
Contoh seseorang berperilaku husnuzan atau berbaik sangka kepada Allah Swt yaitu dengan mensyukuri atas harta benda yang dimilikinya dengan jalan membelanjakan harta benda tersebut untuk hal-hal yang bermanfaat bagi kehidupan dunia dan akherat, bersyukur dengan lidah seperti mengucapkan Alhamdulillah, mengucapkan lafal-lafal dzikir lainnya, membaca Al-Qur’an, membaca berbagai buku ilmu pengetahuan dan melaksanakan amar nahi mungkar.
2. Husnuzan terhadap diri sendiri
Muslim dan muslimah yang husnuzan atau berbaik sangka terhadap diri sendiri tentu akan berprilaku terpuji terhadap dirinya sendiri, seperti: a. percaya diri yakni yakin dengan kemampuan dirinya, sehingga berani mengeluarkan pendapat dan berani pula melakukan suatu tindakan, b. gigih dalam mencapai apa yang dinginkan dengan berkeras hati, tabah dan rajin, dan c. mampu berinisiatif yang positif dalam bidang yang ditekuninya dan sesuai dengan keahliannya.
3. Husnuzan terhadap sesama manusia
Husnuzan atau berbaik sangka terhadap sesama manusia merupakan sikap mental terpuji yang harus diwujudkan melalui sikap lahir batin, ucapan dan perbuatan yang baik, diridahi Allah Swt dan bermanfaat
Sikap, ucapan, dan perbuatan baik, sebagai perwujudan dari husnuzan itu hendaknya diterapkan dalam kehidupan berkeluarga, bertetangga serta bermasyarakat. Contohnya saling menghormati antar tetangga, dan tidak saling mencurigai.
Dan sebaliknya orang yang lemah imannya maka akan mudah bersu’udzan , Sedangkan perilaku suuzan termasuk akhlak tercela, karena akan mendatangkan kerugian. Sungguh tepat jika Allah Swt dan rasul-Nya melarang berperilaku berburuk sangka. (lihat Q.S. Al-Hujurat, 49: 12).
Rasulullah Saw bersabda: “Jauhkanlah dirimu dari berprasangka buruk, karena berprasangka buruk itu sedusta-dusta pembicaraan (yakni jauhkan dirimu dari menuduh seseorang berdasarkan sangkaan saja).” (H.R. Bukhari dan Muslim)
berikutnya lagi adalah orang beriman adalah tidak pernah merasa khawatir dan tidak pula berduka cita. Hidupnya selalu bahagia. Kebahagiaan itu sudah dirasakan sejak hidup di dunia hingga nanti diakhirat. Mereka sangat percaya kepada firman Allah yang tertulis di Al Qur'an. Mereka percaya, bahwa Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang, tidak mungkin Allah akan merugikan hamba-Nya. Mereka tidak pernah khawatir akan masa depan, karena tahu bahwa Allah telah menjamin rejekinya sejak lahir sampai mati nanti. Ketika masih menjadi bayi yang tidak mampu mengurus diri sendiri, Allah telah mengirimkan kepada kita orang-orang yang menyayangi kita. Memberi makan, memandikan, mengasuh, hingga kita mandiri. Lalu Allah memberikan kepandaian, kekuatan dan rejeki terus menerus hingga menjadi dewasa seperti sekarang ini. Setelah kita hidup dan menikmati rejeki dari Allah, kenapa kita masih saja tidak percaya bahwa Allah Maha Pemberi Rejeki?
Ketika terjadi musibah, orang beriman tidak berduka yang berkepanjangan. Mereka sabar dan tenang menghadapinya. Mereka percaya, bahwa ini adalah ketetapan yang terbaik dari Allah SWT, karena Allah Maha Tahu apa yang terbaik untuk hamba-Nya. Karena itu mereka menunggu denan penuh harapan, kebaikan apa yang akan Allah berikan setelah musibah ini berlalu.
"Tuhan kami ialah Allah", kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita. (QS Al Ahqaaf [46] : 13
Dengan melihat ayat itu, maka jika kita selalu khawatir akan apa akan terjadi atau terlalu sedih dan menyesali terhadap sesuatu yang telah terjadi, hal itu menandakan ada sesuatu yang salahdalam keimanan kita. Kita belum sepenuhnya percaya, bahwa Allah mampu mengatur alam semesta dengan sempurna.
Melihat kadar iman berikutnya adalah dengan menyebut nama Allah , jika disebut nama Allah dan hati bergetar? maka itu pertanda kadar Iman sedang tinggi .
Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (QS : Al Anfaal [8]:2).
Berdasarkan ayat tersebut, salah satu ciri orang beriman adalah jika disebut nama Allah maka hatinya akan bergetar. Apa kita masih merasakan hati Anda bergetar jika nama Allah disebut dan merasa takut atas ancaman ancaman Allah dan merasa terharu atas nikmat nikmat Allah?
Sekarang, mari kita bertanya dengan penuh jujur, seberapa besar keimanan kita pada Allah swt dan hari akhirat?
Apakah kita sudah meyakini segala apa yang Allah Swt beritakan dan sampaikan dalam al-Qur`an, sehingga terdorong hati untuk melaksanakannya?
Apakah kita sudah mengikuti petunjuk yang dibawa utusan Allah swt , yaitu nabi Muhammad SAW? Sehingga kita menjadikan beliau sebagai teladan dalam menjalani kehidupan ini.
Pertanyaan-pertanyaan muhasabah ini perlu untuk selalu kita tanyakan pada diri kita agar kita bisa mengukur sejauh mana keyakinan kita pada firman-firman Allah dan sabda-sabda Rasul-Nya.
Allah memerintahkan kita dalam al-Qur`an untuk mengerjakan shalat 5 waktu, puasa, membayar zakat, bersedekah, melaksanakan ibadah haji, shalat qiyam dan amal ibadah lainnya, kemudian Allah berikan kabar gembira bahwa bagi siapa diantara manusia yang menjalankan suruhan-suruhan tersebut akan diberikan balasan pahala di akhirat kelak, berupa sorga yang di dalamnya terdapat segala keindahan, kenikmatan dan kesenangan yang tiada habisnya.
Rasulullah saw juga memerintahkan kita untuk mengamalkan sunnahnya agar kita selamat di dunia dan akhirat. Dan sekarang kita lihat, berapa banyak dari kita dan manusia yang mengamalkannya? Berapa banyak orang-orang yang mengerjakan suruhan tersebut?
Sungguh masih sangat sedikit, masih banyak yang melanggar perintah Allah. Masih banyak yang bergelimangan dengan dosa dan maksiat. Penyakit apakah yang sesungguhnya telah melanda diri manusia sehingga tidak tergerak di hatinya keinginan untuk melaksanakan perintah-perintah Allah dengan penuh rasa ikhlas dan ketaatan? Adalah karena lemahnya iman yang bersemayam di dalam hati.
Manusia lebih meyakini apa yang nampak dan terlihat saja, adapun perkara-perkara yang ghaib berupa perkara tentang pahala, tentang akhirat dan lainnya banyak manusia yang tidak meyakini. Inilah diantara penyebab banyaknya manusia tidak mengerjakan perintah Allah atau tidak sepenuh hati patuh pada perintah Allah.
Keimanan inilah sebenarnya yang perlu kita bina terus, keimanan yang kokoh, yang tidak berubah dengan berubahnya keadaan, yang tidak hilang dengan hilangnya materi dan dunia, dan yang tidak bekurang dengan berkurangnya usia, tapi iman yang selalu berdiri kokoh di tengah-tengah terpaan badai kehidupan.
No comments:
Post a Comment