*"Ketika Kita Harus Berbagi"*
Melihat keteraturan pada alam semesta, sepatutnya kita menerapkan sistem keteraturan pada kehidupan kita sehari-hari secara cerdas, menghemat waktu dengan menghasilkan ‘value’, hasil yang memuaskan.
Sebagaimana alam semesta yang teratur, yang mana tidak ada satu pun planet ataupun bintang yang menonjolkan diri. Maka dalam bersosialisasi, berorganisasi maupun bekerja seyogyanya seperti itu. Kita bekerja secara team work dan for all, tidak ada yang ingin saling menonjolkan. Bak sebuah beton yang menjadikan sebuah bangunan berdiri kokoh, namun dia tidak pernah menonjolkan diri; seperti sebuah pepatah "Jadilah engkau sebuah beton yang mengokohkan dan menjadi bagian terpenting, walau tidak terlihat". Kita seharusnya bisa berbuat untuk bersama bukan untuk diri sendiri ataupun salah satu golongan. Bergerak, bekerja, berbuat dan berpikir lebih banyak karena ‘al-barakatu fil harakah wal-harakatu fîhâ al-barakah’, keberkahan ada pada pergerakan dan pada pergerakan terdapat keberkahan.
Untuk memperoleh hasil yang sempurna dalam kehidupan, kita harus berpikir cerdas dengan menggunakan sistem POACE (Planing, Organizing, Actuating, Controling and Evaluating). Kadang kita tidak pernah menyadari bahwa teori ini sudah pernah kita dapatkan di bangku sekolah (tsanawiyah ataupun ‘aliyah), lebih parahnya kita hanya menghapal teori tersebut dengan kepala bukan dengan hati. Dan kita tidak pernah berlatih. Padahal, ini menyangkut kebiasaan dan kerakter yang harus diinternalisasi.
Begitu banyak pemahaman tentang teori pembangunan karakter, manajemen, buku-buku penuntun sukses yang telah dipelajari. Namun begitu banyak pula yang sudah dilupakan atau dihafal hanya sebatas teori dan tidak dipraktekan sama sekali. Akhirnya, ilmu-ilmu tersebut seharusnya digunakan, kita sering lupa. Tatkala diingatkan kembali, barulah kita menyesal. Sebuah peluang emas telah terlewatkan begitu saja, atau masalah yang seharusnya bisa dituntaskan, tidak mampu diselesaikan dengan baik.
Pada hakikatnya, kecakapan dapat dipandang sebagai sekumpulan kebiasaan yang terkoordinasi; apa yang kita pikirkan, rasakan, lihat, dan kerjakan agar tugas terlaksana. Hal tersebut sekiranya dapat menegaskan bahwa hakikat dari suatu kecakapan bukanlah hanya pada pemahaman, melainkan metode internalisasi kebiasaan.
Saya akan mengutip pandangan Stephen R. Covey tentang penciptaan karakter dalam bukunya, "Taburlah gagasan, petiklah perbuatan; taburlah perbuatan, petiklah kebiasaan; taburlah kebiasaan, petiklah karakter; taburlah karakter, petiklah nasib". Artinya, untuk membangun karakter, tidak cukup hanya membaca buku atau pelatihan saja, namun dibutuhkan sebuah mekanisme pelatihan yang terarah dan berkesinambungan. DR. KH. Abdullah Syukri Zarkasyi mengatakan:"I’malû fauqa ma ‘amilû, bekerjalah lebih dari apa yang mereka kerjakan."
"……..Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat dan jangan kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan" (QS. Al-Qashas [28]: 77)
Sebagai seorang muslim seyogyanya kita bisa men-setting sebuah kehidupan yang berprinsip hanya kepada Allah Swt., segala sesuatu diniatkan untuk ibadah kepadanya. Dengan berniatkan ibadah berarti kita telah menggabungkan hubungan vertikal dan horizontal sekaligus. Yaitu, hubungan antara hamba dengan Tuhannya dan hubungan hamba dengan hamba dalam satu pekerjaan.
"Hanya pada Allah-lah sujud patuh segala yang ada di langit dan di bumi, baik dengan kemauan sendiri ataupun terpaksa dan sujud pula bayang- bayangnya di waktu pagi dan petang." (QS. Ar-Ra’d [13]: 15)
Banyak orang bingung dengan perasaannya sendiri dan tidak mengenal lagi siapa dirinya. Bagi dirinya lingkungan luar lebih jelas dibandingkan dirinya sendiri, yang tidak mampu memahami wawasan batiniah dalam dirinya sendiri. Akhirnya ia menjadi buta dan tuli, tak mampu menjabarkan kawasan batinnya sendiri. Akibatnya ia hanya dikemudikan oleh logika dan insting hewaninya saja (baca: penyakit aleksitimea). Namun melalui ibadah, kesadaran diri tentang kawasan batin tersebut akan disegarkan kembali. Ia mampu mengenal kembali siapa dirinya dan bagaimana suara hatinya. Radar batinnya seperti dihidupkan kembali. Ia kembali menjadi peka, karena hatinya kembali terbuka dan pegangan hidupnya kembali memancar dari dalam dirinya. Inilah yang kemudian menimbulkan rasa tenteram di dalam hati, membuat dirinya terlindungi dari tekanan serta pengaruh lingkungan luar yang datang bertubi-tubi.
Inilah pemahaman tentang kesadaran diri untuk beribadah. Kesadaran bahwa ibadah bukanlah untuk Allah, tapi justru untuk kepentingan manusia itu sendiri. Inilah tanda kasih sayang Allah yang telah mengaruniakan ibadah sebagai suatu metode untuk mencapai ketentraman,kebahagiaan dan alat pemeliharaan untuk keberhasilan dirinya sendiri dalam rangka menjalankan tugas sebagai khalifah di muka bumi. Allahu Akbar!
"Sungguh, manusia diciptakan penuh kegelisahan. Bila ditimpa
kesusahan, suka berkeluh kesah. Tetapi jika mengalami kesenangan, kikir bukan kepalang. Tidak demikian orang yang shalat, yang setia mengerjakan shalat.” (QS. Al-Ma’ârij [70]: 19-23)
Saatnya kita berbenah diri dalam memenej waktu dalam kehidupan baik saat bekerja, berorganisasi, belajar, maupun beribadah. Membagi sisa-sisa waktu kita di bumi ini sebaik mungkin untuk menggapai ridha Allah Swt.
Take time to THINK, it is the source of Power,
Take time to READ, it is the foundation of Wisdom
Take time to QUIET, it is the opportunity top seek God
Take time to DREAM, it is the Future made of
Take time to PRAY, it is the Greatest Power on Earth
By : Ustadz Dudi Kurniawan
Edisi : Senin , 4 Oktober 2016
No comments:
Post a Comment