Terminologi “Anak Soleh” - FKDI Indonesia

Wednesday, November 8, 2017

Terminologi “Anak Soleh”

Ilustrasi dari google


PERTAMA, pada pujian tentang perihal makan dan terminologi “anak soleh”, sebenarnya kita sedang mengajarkan anak sebuah logika berpikir yang kurang pas (logical fallacy). Pertanyaan untuk direnungkan adalah mengapa makan makanan aja, lalu itu dianggap pintar? Apa hubungannya? Lalu dengan makan saja sudah dianggap soleh.
.
Bukankah makan makanan itu merupakan kebutuhan mendasar kita sebagai manusia? Jadi, tidak harus nunggu dianggap pintar dulu untuk mau makan. Itu sudah naluriah manusia aybun. So, jangan kita loncatkan logika berpikir anak kita.
Kecuali jika kita jelaskan begini, “Alhamdulillah anak bunda mau makan. Berarti anak bunda mau merawat diri yang sudah dititipkan Allah.” Ini baru tidak lompat logikanya. 
================

Apa akibatnya jika logika yang lompat ini terjadi dalam jangka panjang terhadap anak? Akan ada masalah besar muncul dalam persepsi yang tertanam di otak anak.
.
“Oh, aku dianggap pintar kalau makan…Iiih gampang banget ya jadi anak pintar. Cukup makan aja udah dianggap pintar….ditambah soleh pula. Ternyata untuk jadi soleh itu gampang. Makan aja. Jadi, mungkin gak perlu solat, sedekah, dll kalau mau dianggap soleh. Trus mama aja udah bangga kalau aku mau makan…Segampang itu ya bikin mama bangga? Gak perlu ngapa-ngapain lagi deh….”
Begitu kira-kira anggapan yang mungkin bisa terjadi di kepala si anak. Memakan makanan, sudah bergeser perannya dari kebutuhan, jadi sebuah konsep “pintar”, “soleh”, “membanggakan”. Lalu dalam jangka panjang, jika hal ini menumpuk, ia akan kekurangan motivasi untuk berbuat sesuatu, karena hal remeh yang seharusnya sudah menjadi kebutuhan dan kewajiban, sudah dianggap sesuatu yang “pintar”, “soleh”, “membanggakan”. Dia tak termotivasi untuk berkarya yang besar. Karya yang lebih esensial dan berdampak luas buat orang lain. 
================

Sumber Kajian FKDI

No comments:

Post a Comment