Orangtua yang Lurus dalam Tauhid dan Kokoh dalam Syariat
“Tidaklah setiap anak yang lahir kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka kedua orangtuanyalah yang akan menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Seperti hewan melahirkan anaknya yang sempurna, apakah kalian melihat darinya buntung (pada telinga)?” (HR. Bukhari & Muslim)
Dari hadist di atas kita dapat menyerap suatu hikmah yang sangat luar biasa, yaitu betapa besar peran orangtua dalam menentukan keselamatan dunia akirat bagi anak-anaknya. Dimana di awal kelahiran seorang manusia, orangtualah yang dapat menentukan kemana seorang anak akan memeluk agama yang akan dia peluk. Kita patut bersyukur sebagai seorang anak yang dilahirkan dari orangtua yang beragama Islam. Karena dengan demikian kita telah memeluk satu-satunya agama yang diridhai oleh Allah Swt.
Lantas bagaimana sikap kita sebagai orang tua dapat meluruskan tauhid an mengokohkan syariat supaya dapat mendidik anak-anak kita menjadi anak yang shaleh dan shalehah serta memegang erat agama Islam disertai selalu menjalankan syariatnya.
Sebelum kita menjalankan dan mengajarkan akidah dan syariah yang lurus, maka seyogyanya kita mengetahui apa dan bagaimana hubungan antara keduanya, lalu setelah itu kita lanjutkan untuk menerapkannya dalam pendidikan kita terhadap anak-anak kita.
A. Akidah dan Syariah Islam
Islam tidak bisa terlepas dari akidah dan syari’ah. Akidah sendiri merupakan suatu pandangan yang menuntut keimanan semenjak awal, sebelum segala sesuatu, keimanan tanpa keraguan dan juga tanpa kecurigaan. Sementara istilah syariah dalam konteks kajian hukum Islam lebih menggambarkan kumpulan norma-norma hukum yang merupakan hasil dari proses tasyri’.
Adapun dalam segi istilah, Syeikh Mahmud Syaltut mendefiniskan syari’ah sebagai “Ketentuan – ketentuan yang ditetapkan oleh Alah SWT atau hasil pemahaman atas dasar ketentuan tersebut, untuk dijadikan pegangan oleh umat manusia baik dalam hubungannya dengan Tuhan, dengan umat manusia lainnya, muslim dengan non muslim, dengan alam, maupun hubungannya dengan kehidupan.”
Dari definisi diatas kita dapat mengambil kesimpulan bahwansannya ada dua sisi amal yaitu sisi ibadah (amal untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt) dan mu’amalah (amal bersama sesama manusia untuk saling memberikan manfaat dan menolak kemadharatan).
Pengertian dari Syeikh Mahmud Syaltut ini dapat mewakili tiga dimensi aspek hukum dalam syari’ah, yaitu ketentuan – ketentuan yang diturunkan dan ditetapkan oleh Allah Swt., dan Rasul-Nya, serta norma-norma hukum hasil kajian para ulama mujtahid dengan metodologi istinbathnya, serta aspek hukum yang berkaitan dengan alam dan lingkungan sosial.
Al-Qur’an mengibaratkan akidah sebagai iman dan syari’ah sebagai amal shaleh. Tidak mungkin Islam itu hanya akidah saja, begitu juga sebaliknya Islam tidak mungkin hanya syari’ah saja, keduanya tidak bisa berdiri sendiri satu sama lain. Akidah bagaikan pondasi yang mana syari’ah dibangun diatasnya, syari’ah merupakan konsekuensi dari mengikuti akidah.
Syeikh Mahmud Syaltut mengatakan “Orang yang beriman dengan persoalan-persoalan akidah tapi mencampakkan syariat, atau mengambil syariat tapi menyia-nyiakan akidah; bukan seorang Muslim di sisi Allah, tidak pula dihukumi sebagai Islam yang menyelamatkan”
Namun kita juga jangan sampai melupakan satu aspek ajaran Islam yang lain, yaitu Akhlak. Karena nabi Muhammad saw., sendiri diutus kepada seluruh umat manusia adalah untuk menanamkan nilai akhlak budi pekerti yang luhur.
Apabila kita analogikan secara sederhana mungkin kita akan membuat tahapan ajaran Islam yaitu pertama kali beriman, lalu beramal sesuai syari’ah, lalu kita akan memiliki akhlak yang mulia atau ihsan. Jadi akhlak merupakan cerminan dari akidah dan syari’ah seorang muslim.
Ihsan merupakan puncak kesempurnaan dari Iman dan Islam. Orang yang telah sempurna keimanan dan keislamannya akan mencapai suatu keadaan dimana ia dapat melakukan ibadah kepada Allah seakan-akan melihat-Nya, dan apabila dia tidak dapat melihat Allah, dia yakin bahwasannya Allah selalu melihatnya. Ihsan dapat menimbulkan amal saleh dan menjauhkan orang dari perbuatan-perbuatan buruk. Imam al-Nawawi menegaskan bahwa ihsan itu merupakan jawami’ul kalim, yaitu suatu ungkapan yang mencakup tujuan dari hakikat Iman dan Islam.
B. Orangtua yang Lurus dalam Tauhid dan Kokoh dalam Syariah
Tauhid dan syariah bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Lalu bagaimana kita bisa mencontoh suatu sikap pendidikan tauhid dan syariah kepada anak kita? Kita dapat mencontoh langkah-langkah mengajarkannya sebagaimana dikisahkan dalam Al-Qur’an pada surah Luqman, yaitu sebagai berikut:
Pertama: Ajarilah anak-anak untuk tidak mempersekutukan Allah.
Peran orantua yang pertama kali dan paling utama adalah mengajari anaknya untuk percaya bahwa satu-satunya Tuhan di alam semesta adalah Allah Swt. Lalu mengajarkan mereka supaya tidak sekali-kali mempersekutukan Allah Swt.
Hal ini dapat diajarkan semenjak dia kecil hingga dewasa, bahkan dijadikan sebagai wasiat sebelum kematian sebagaimana wasiat Nabi Ayub kepada anak-anaknya:
"Apa yang kamu sembah sepeninggalku?" Mereka menjawab: "Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya". (QS. Al-Baqarah: 133)
Kedua: Ajarilah anak-anak untuk berbakti kepada orangtua
orangtua merupakan sosok yan banyak berkorban demi kebahagiaan anak-anaknya. Maka seyogyanya anak diajarkan untuk bisa menghormati dan menyayangi orangtua. Bagaimana caranya? Caranya adalah kita harus menjadi contoh untuk anak-anak kita dengan selalu berbakti pada orangtua kita. Contoh, apabila kita ingin disayang oleh anak-anak kita kelak maka kita harus bisa sayang pada orangtua kita, merawat mereka apabila sudah tua dan selalu menghormati mereka kapanpun serta senantiasa mendoakan mereka apabila mereka telah tiada. Hal tersebut akan menjadi contoh yang nyata bagi anak-anak kita.
Ketiga: Ajarilah anak-anak bahwa Allah Swt., Maha Mengetahui
Ajarilah anakmu dengan baik dan lembut dan ajarilah merka bahwa setiap perbuatan meskipun seberat biji sawi dan disembunyikan didalam batu atu di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan membalasnya. Maka ajarkanlah dia akhlakul karimah, berperilaku yang baik, tutur kata yang baik, menebarkan kasih sayang kepada sesama disertai penjelasan bahwa Allah Swt., Maha mengetahui akan setiap perbautan yang ia lakukan sekecil apapun itu. Sehingga apa yang dia lihat, rasakan dan dengarkan adalah kebaikan karena dia tahu bahwa perbuatan baik atau buruk sekecil apapun, niscaya Allah Swt., mengetahuinya.
Keempat: Ajarilah anak-anak untuk Shalat
Mengajarkan anak shalat merupakan kewajiban bagi orangtua. Lalu bagaimana cara mengajarkannya? Ajarkanlah dengan menjadi contoh baginya. Kerjakanlah shalat di depan anak-anak kita atau malah mengajak mereka untuk shalat berjamaah bersama kita. Secara perlahan mereka akan tersadar bahwa shalat merupakan rutinitas yang tidak boleh dilewatkan bagi setiap muslim dan muslimah. Lalu ajarkanlah mereka gerakan-gerakan shalat dari semenjak kecil secara perlahan dengan baik dan lemah lembut. Sehingga apa yang mereka kerjakan didasari atas keinginan mereka sendiri. Saat usia mereka telah menginjak 7 tahun, maka wajib bagi orang tua memerintahkan anaknya untuk selalu mengerjakan shalat.
Kelima: Ajarkan anak-anakmu untuk mencegah kemungkaran
Ajarkan anak-anak kita untuk bisa menjaga diri dari kemungkaran semenjak kecil. Apabila dia sudah dewasa dan dirasa mampu untuk mencegah kemungkaran, maka perintahkalah ia untuk bisa mencegah kemungkaran dan mengajak orang lain menuju kebaikan. Mencegah kemungkaran tidaklah perlu dengan kekerasan, tapi cegahlah kemungkaran dengan kebaikan tanpa mencela apalagi mencaci orang lain. Apabila ia belum mampu mencegah kemungkaran, maka cukuplah dikuatkan dalam hati untuk tidak melakukan kemungkaran tersebut.
Keenam: Ajarkanlah anak-anakmu untuk selalu bersabar.
Sabar mudah diucapkan namun sangat sulit untuk dilakukan. Oleh sebab itulah Allah Swt., berfirman berkali-kali dalam Al-Qur’an bahwa “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.” (QS. Al-Baqarah: 45).
Ajarilah anak-anak untuk bersabar dengan mencontohkan mereka bagaimana cara kita bersabar. Jangan sampai kita marah apalagi mencaci maki orang di depan anak-anak kita. Tunjukanlah bahwa kita sebagai orangtua dapat mengajarkan kepada mereka arti sabar yang sesungguhnya.
Ketujuh: Ajarilah anakmu untuk tidak berlaku sombong.
Ajarilah anak-anak kita untuk tidak memalingkan muka dari manusia (karena sombong) dan tidak berjalan di muka bumi dengan angkuh serta menyederhanakan diri dalam berjalan dan selalu melunakan suara di depan manusia. Rendah hati itu penting dan boleh, yang tidak boleh adalah rendah diri. Rendah hati bukan berarti tidak PD. Tidak PD adalah rendah diri. Rendah hati itu bagus dan indah. Rendah diri itu yang membawa musibah.
Dari penjelasan di atas kita harus menjadi orang tua yang dapat menjadikan iman dan syariah menjadi satu kesatuan yang selalu mengiringi langkah anak-anak kita sehingga ia bisa mencapai derajat ihsan. Semoga kita semua dapat menjadi orangtua yang dapat menjadi taudalan yang baik dalam penerapan tauhid dan syariah yang baik bagi anak-anak kita, sehingga kita dan anak-anak kita dapat merasakan tingkatan yang dinamakan ihsan. Amin ya rabbal’alamin.
Wallahu’alam bishawab.
By : Ustadz Dudi Kurniawan.
Edisi : Senin, 26 September 2016
No comments:
Post a Comment