*Cara Mendidik Anak Para Ulama*
ARA ulama besar juga seperti manusia pada umumnya, memiliki keluarga, memiliki anak dan berinterkasi dengan mereka sebagai seorang ayah. Namun bedanya mereka memiliki kelebihan dibanding manusia pada umumnya karena ilmu yang mereka miliki.
Dengan kelebihan itu, tentu cara yang mereka tempuh dalam mendidik anak-anaknya bukan dengan cara yang “biasa”. Para ulama, meski mereka sendiri juga memiliki segudang aktivitas dan tanggung jawab kepada umat dan negara, mereka tetap tidak lalai dalam mendidik anak-anak mereka.
Imam As Subki, Mendidik Anak dengan Kerendahan Hati
Keluarga As Subki di wilayah Manufiyah Mesir dikenal sebagai keluarga ulama. Sang kakek adalah Qadhi Zainuddin yang mewakili Qadhi Ibnu Daqiq Al Ied dalam persidangan sedangkan sang ayah adalah seorang hafidz hadits yang juga meraih gelar sebagai mujtahid. Adapun ketiga putranya, Baha’uddin As Subki, Tajuddin As Subki serta Husain Jamaluddin Abu At Thayyib juga merupakan jajaran para ulama besar. Hingga Imam Abdul Wahhab As Sya’rani menyebutkan dalam Tanbih Al Mughtarrin bahwa ada dua keluarga ulama yang dikenal memiliki anak-anak yang shalih, mereka adalah keluarga Imam Taqiyuddin As Subki dan keluarga Sirajuddin Al Bulqini.
Meski sibuk menjalankan tugasnya sebagai seorang qadhi, Imam Tajuddin As Subki tetap bisa menjalankan perannya sebagai ayah dalam mengajari dan mendidik langsung putra-putra beliau. Bukan hanya sekedar mengajar secara teori mengenai ilmu-ilmu keislaman, namun beliau juga menjadi teladan bagi anak-anaknya. Tidaklah menjadi hal yang mengherankan kalau putranya sendiri Tajuddin As Subki sampai menyebut ayahnya itu sebagai “syeikh al imam” dalam karya beliau Thabaqat As Syafi’iyah Al Kubra.
Di beberapa kesempatan terlihat bahwa Imam Taqiyuddin banyak mengajari anak-anaknya agar bertawadhu’. Ketika guru Tajuddin As Subki yakni Al Hafidz Al Mizzi memberi kesempatan kepadanya untuk mengajar menggantikan posisi sang guru di Dar Al Hadits Al Ashrafiyah, namun Imam Taqiyuddin mencegahnya dan menyatakan bahwa Tajuddin belum pantas karena usianya masih belia.
Mendangar hal itu, Al Hafidz Al Mizzi lalu memerintahkan para muridnya untuk mencatat Tajuddin sebagai murid thabaqat ulya (tingkatan tertinggi). Kembali hal itu ditolak oleh Imam Taqiyuddin dan beliau malah menginginkan Tajuddin sebagai murid pemula. Hal itu membuat guru Tajuddin yang lainnya yakni Imam Ad Dzahabi ikut membelanya dengan menyampaikan kepada Imam Taqiyuddin As Subki,”Ia bukan pemuIa. Ia adalah muhaddits jayyid”. Hingga akhirnya sang orang tua dan guru sepakat menempatkan Tajuddin di thabaqat mutawassithin (pertengahan).
Penolakan oleh Imam Taqiyuddin terus berlanjut tatkala Imam Adz Dzahabi menginginkan Tajuddin As Subki sebagai penggantinya di majelis Dar Al Hadits Adz Dzahiriyah kelak setelah Adz Dzahabi wafat.
Tajuddin sendiri bisa menangkap bahwa penolakan ayahnya dalam rangka untuk mendidiknya,”Umurku belum cukup sebagai seorang faqih kecuali di Dar Al Hadits Al Ashrafiyah aku hanya mengulang pelajaran kepada ayah. Sedangkan ayah menghendaki agar aku mengajar tatkala umurku sudah cukup. Demikianlah ayah mendidik kami”
Meski mengajar anak sendiri, Imam Taqiyuddin juga memiliki murid dari para pencari ilmu lainnya. Dan dalam mengajar, beliau juga mendidik agar anak-anaknya menaruh hormat kepada para murid lainnya. Suatu saat pernah ada seorang murid melontarkan pernyataan mengenai masalah yang agak pelik dalam masalah fiqih sedangkan Imam Taqiyuddin selalu merespon dengan membesarkan hati para murid dengan berpura-pura tidak tahu akan masalah itu. Mengetahui hal itu Tajuddin pun mendebat sang murid dan berhasil membuatnya malu, hingga Imam Taqiyuddin pun memberi nasihat keras kepada putranya,”Dia ingin menonjolkan diri dan engkau mempermalukannya. Hal itu bukanlah perbuatan yang pantas untuk dilakukan”.
Tidak hanya mengajari untuk tawadhu’ kepada manusia, Imam Tajuddin pun mengajari agar putranya tidak merendahkan makhluk Allah meski untuk seekor hewan sekalipun. Suatu saat Tajuddin duduk di beranda rumah dan datanglah seekor anjing. Dan Tajuddin pun mengatakan,”Paling buruk adalah anjing anaknya anjing”. Sontak Imam Taqiyuddin As Subki menghardik dari dalam rumah. Tajuddin pun merespon,”Bukankah benar kalau anjing adalah anak anjing?” Imam Taqiyuddin pun membalas, “Benar dengan syarat tidak ada unsur penghinaan”.
Selalu Mengontrol Hasil Belajar
Meski Tajuddin juga berguru kepada ulama besar lainnya, namun ayah beliau selalu mengontrol hasil belajarnya, hingga Tajuddin hafal istilah-istilah khusus yang digunakan sang ayah saat menyebut para guru. Jika Tajuddin pulang dari Imam Ad Dzahabi, sang ayah bertanya,”Apa yang engkau peroleh dari syeikhmu?” Hingga akhirnya Tajuddin menyampaikan pelajaran yang telah diperolehnya. Jika ia pulang dari Ibnu Naqib, maka sang ayah bertanya,”Apa yang engkau dapati dari Samiyah?” Jika ia pulang dari Imam Al Qahfaji, maka sang ayah bertanya,”Apa yang engkau peroleh dari masjid Tinqiz? Jika pulang dari Imam Al Andarsi maka pertanyaanya pun berbeda lagi,”Apa yang engkau peroleh dari masjid?” Dan jika pulang dari Al Hafidz Al Mizzi maka sang ayah bertanya,”Apa yang engkau peroleh dari As Syeikh?” Dengan menyebutkan kata “As Syaikh” dengan fasih. Tajuddin pun menangkap dari cara pengucapan itu bahwa sang ayah ingin menunjukkan bahwa belajar kepada Al Hafidz Al Mizzi perlu menjadi prioritas baginya.
Tidak hanya meluangkan waktu untuk mengontrol belajar anak, bahkan Imam Taqiyuddin pernah menunda kepergiannya di saat datang perintah kepada beliau agar pindah ke Mesir dan menjadi qadhi di sana. Hal itu beliau lakukan dalam rangka memberi kesempatan kepada Tajuddin agar menuntaskan belajarnya kepada ahli nahwu saat itu yakni Imam Abu Hayyan Al Andalusi. Imam Taqiyuddin pun menyampaikan kepada putranya itu,”Jangan hilangkan kesempatan ini, sesungguhnya ia (Imam Abu Hayan) adalah ghanimah!”
Setelah jerih payah dilakukan sang ayah untuk mendidik putra-putranya dengan taufiq Allah keshalihan keluarga Imam Taqiyuddin mengharumkan nama kampung As Subk meski mereka telah lama wafat. Ali Basya Mubarak dalam Khuththut At Taufiqiyah menyabutkan,”Allah telah menjadikan desa ini (As Subk) tersohor diantara wilayah-wilayah lainnya dan ia disebut-sebut di sepanjang zaman dikarenakan pernah ditinggali oleh Imam Taqiyuddin As Subki bersama putranya Imam Abdul Wahhab (Tajuddin)”.
Tanamkan Ahlak dengan Makanan Halal
Al Imam Al Haramain Al Juwaini juga digolongkan sebagai ulama besar yang memperoleh pendidikan dari keluarga shalih. Ayah beliau juga ulama besar yang tidak lain adalah Syeikh Abu Muhammad Al Juwaini, sedangkan ibu beliau seorang wanita shalihah yang sangat hati-hati dalam masalah makanan yang dikunsumsi. Dan paman beliau adalah Abu Hasan Ali bin Yusuf Al Juwaini yang juga seorang muhaddits shufi yang dikenal dengan sebutan Syeikh Al Hijaz. Hafidz Ibnu Asakir mengungkapkan,”Beliau (Imam Al Haramain) dididik keluarga imam dan disusui dengan ilmu dan kehati-hatian”.
Sang ayah sendirilah yang membekali ilmu Imam Al Haramaian disamping memberi suri tauladan. Beliau adalah guru pertama Imam Al Haramain, sehingga ia juga menyebut ayahnya sendiri dengan panggilan “syeikh”.
Namun ada hal yang lebih spesifik disamping memberi suri tauladan dan mengajarkan ilmu, yakni bahwa Imam Abu Muhammad Al Juwaini amat ketat dalam masalah kehalalan makanan yang dikonsumsi oleh putranya. Sejak Imam Al Haramain lahir, sang ayah sudah berpesan agar ia tidak disusui kecuali dari air susu ibunya sendiri yang dikenal wara’ (hati-hati) dengan apa yang dikonsumsi.
Namun, suatu saat ketika sang ibu sakit dan sang bayi menangis, seorang wanita tetangga berinisiatif untuk menyusuinya. Ketika Imam Abu Muhammad mengetahui hal itu, beliau segera berusaha mengeluarkan air susu yang sudah di telan si bayi dengan memasukkan jarinya ke kerongkongan dan hal itu beliau lakukan terus-menerus, hingga bayi itu muntah dan seluruh isi perutnya keluar. Kemudian beliau menyampaikan,”Kecelakaan bayi ini lebih mudah aku terima daripada ia rusak prilakunya dikarena meminum susu bukan dari susu ibunya”.
Imam Tajuddin As Subki juga mengkisahkan hal yang sama, namun beliau memiliki penafsiran berbeda, yakni bahwa Imam Abu Muhammad menolak penyusuan anaknya oleh budak tetangga disebabakan si pemilik budak belum memberikan izin.
Walhasil, bagi Imam Abu Muhammad keshalihan anak tidak hanya dibentuk dengan pendidikan secara verbal saja, namun juga perlu ditopang dengan keshalihan keluarga dan kehalalan makanan dan minuman yang dikonsumsinya serta taufiq dari Allah Ta’ala.
Doa Ayah Imam Al Ghazali
Sebagaiamana yang dilakukan oleh Imam Abu Muhammad Al Juwaini, ayah Imam Al Ghazali , Syeikh Muhammad juga dikenal sebagai ahli zuhud yang menjaga makanan. Beliau juga sering menghadiri majelis ilmu para ulama dan selalu menangis jika mendengar nasihat di majelis tersebut. Di saat dalam kondisi demikian biasanya beliau berdoa agar kelak putranya menjadi seorang yang faqih. Dan Allah telah menjawab doanya.
Tentu amat banyak contoh-contoh dari para ulama lainnya selain yang telah dipaparkan di atas. Mudah-mudahan sebagai orang tua, lebih-lebih sebagai ayah, kita bisa mengambil suri tauladan dari manusia-manusia yang dipilih Allah tersebut.
Allahu 'alam bish showab,
Hari, tanggal : Selasa, 11 Oktober 2016
Pemateri : Ustadz Burhan
No comments:
Post a Comment