
SURAT AL-KAFIRUN
بسم الله الرحمن الرحيم
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ (1) لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ (2) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (3) وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ (4) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (5) لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ (6)
Katakanlah: "Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku."
SABAB NUZUL
Surat Al-Kafirun termasuk surat MAKIYAH, diturunkan terkait negosiasi yang dilakukan beberapa tokoh Quraisy kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam agar beliau mau melakukan kompromi dan pencampuran aqidah dan ibadah. Mereka yang menawarkan kompromi ini, semuanya meninggal dalam kekafiran.
Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah dengan sanadnya meriwayatkan peristiwa ini:
لَقِيَ الْوَلِيْدُ بْنُ الْمُغِيْرَة وَ الْعَاصُ بْنُ وَائِلٍ وَ الأَسْوَدُ بْنُ الْمُطَّلِبِ وَ أُمَيَّةُ بْنُ خَلَفٍ رَسُوْلَ اللهِ فَقَالُوا: يَا مُحَمَّدُ، هَلُمَّ فَلْنَعْبُدْ مَا تَعْبُدُ، وَتَعْبُدْ مَا نَعْبُدُ، ونُشْرِككَ فِي أَمْرِنَا كُلِّهِ، فَإِنْ كَانَ الَّذِي جِئْتَ بِهِ خَيْرًا مِمَّا بِأَيْدِيْنَا، كُنَّا قَدْ شَرِكْنَاكَ فِيْهِ، وَأَخَذْنَا بِحَظِّنَا مِنْهُ، وَإِنْ كَانَ الَّذِي بِأَيْدِيْنَا خَيْرًا مِمَّا فِي يَدَيْكَ، كُنْتَ قَدْ شَرِكْتَنَا فِي أَمْرِنَا، وَأَخَذْتَ مِنْهُ بِحَظِّكَ. فَأَنْزَلَ اللهُ: {قُلْ يَاأَيُّهَا الْكَافِرُونَ} حَتَّى انْقَضَتِ السُّوْرَةُ. (تفسير الطبري، 24/662)
Al-Walid bin Al-Mughirah, Al-‘Ash bin Wa-il, Al-Aswad bin Al-Muthalib dan Umayah bin Khalaf telah menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka berkata: Wahai Muhammad, marilah (bersepakat), kami menyembah apa yang engkau sembah, dan engkau menyembah apa yang kami sembah dan kami akan melibatkanmu dalam semua urusan kami. Jika yang engkau bawa lebih baik daripada yang ada pada kami, berarti kami telah membersamaimu dan mengambil bagian kami darinya. Dan bila yang ada pada kami lebih baik dari yang ada padamu, berarti engkau telah membersamai kami dan mengambil bagianmu darinya. Maka Allah menurunkan “Qul Ya Ayyuha-l Kafirun” hingga akhir surat. (Tafsir Ath-Thabari, 24/662).
Cukup banyak riwayat seperti ini tentang sabab nuzul surat Al-Kafirun. Meskipun satu persatu dari riwayat-riwayat itu tidak sampai pada derajat shahih, namun secara keseluruhan saling menguatkan satu sama lain, sehingga disimpulkan bahwa substansi atau makna riwayat tersebut adalah shahih.
KEUTAMAAN SURAT AL-KAFIRUN
PELEPAS DIRI DARI KEMUSYRIKAN
عَنْ فَرْوَةَ بْنِ نَوْفَلٍ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ لِنَوْفَلٍ: «اقْرَأْ قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ ثُمَّ نَمْ عَلَى خَاتِمَتِهَا، فَإِنَّهَا بَرَاءَةٌ مِنَ الشِّرْكِ» (رواه أبو داود – صحيح)
Dari Farwah bin Naufal dari ayahnya (Naufal) bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Naufal: Bacalah Qul Yaa Ayyuhal Kaafiruun kemudian tidurlah setelah selesai membacanya, karena sesungguhnya ia adalah pembebasan dari kemusyrikan. (HR. Abu Dawud – Shahih).
SURAT AL-KAFIRUN SETARA SEPEREMPAT AL-QURAN
وَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ – رضي الله عنهما – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: «{قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ} تَعْدِلُ ثُلُثَ الْقُرْآنِ، وَ {قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ} تَعْدِلُ رُبُعَ الْقُرْآنِ» (رواه الترمذي وابن ماجه – حسن)
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Qul Huwa-Llaahu Ahad setara sepertiga Al-Quran, dan Qul Yaa Ayyuhal-Kaafirun setara seperempat Al-Quran. (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah – Hadits hasan).
Maksudnya setara pahalanya dengan membaca seperempat Al-Quran, seperti penjelasan tentang surat Al-Ikhlas di materi sebelum ini.
Syihabuddin Al-Alusi rahimahullah mencoba menemukan alasan mengapa surat Al-Kafirun setara dengan seperempat Al-Quran. Diantara penjelasannya:
Maksud kandungan Al-Quran ada empat, yaitu: penegasan kekhususan ibadah hanya untuk Allah, penegasan berlepas diri dari ibadah kepada selain Allah, penjelasan hukum-hukum syariat, dan penjelasan tentang keadaan akhirat. Surat Al-Kafirun berisi salah satunya yakni berlepas diri dari ibadah kepada selain Allah, sehingga ia setara dengan seperempat Al-Quran.
Atau karena Al-Quran berisi empat hal: ibadat, muamalat, jinayat (hukuman atas kejahatan), dan munakahat (hukum pernikahan), dan surat Al-Kafirun berbicara tentang yang pertama. (Ruh Al-Ma’ani, 15/485).
BACAAN PENUTUP MALAM DAN PEMBUKA PAGI
Surat Al-Kafirun adalah salah satu bacaan Al-Quran penutup malam karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca surat Al-Kafirun di dalam shalat witirnya bersama surat Al-A’la dan Al-Ikhlas:
عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - يُوتِرُ بـ {سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى} وَ {قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ} وَ {قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ} (رواه ابن ماجه في السنن - إسناده صحيح)
Dari Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu ia berkata: Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat witir dengan “Sabbihisma Rabbikal-A’laa”, “Qul Yaa Ayyuhal-Kaafirun” dan “Qul Huwa-Llahu Ahad”. (HR. Ibnu Majah dalam Sunan-nya - Isnadnya shahih).
Maksudnya: surat Al-A’la dibaca setelah Al-Fatihah pada rakaat pertama, Al-Kafirun pada rakaat kedua, dan Al-Ikhlas dibaca pada rakaat yang ketiga.
Dalam hadits shahih riwayat Ibnu Hibban dan Abu Dawud disebutkan juga bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selain membaca tiga surat itu, beliau membaca surat Al-Falaq dan An-Nas dalam shalat witir. (Shahih Mawarid Azh-Zham-an, Al-Albani, 1/309).
Maksudnya: surat Al-Falaq dan An-Nas dibaca pada rakaat ketiga setelah Al-Ikhlas.
Bacaan penutup malam dapat juga diartikan sebagai bacaan yang dibaca menjelang tidur, di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan sahabatnya, Naufal radhiyallahu ‘anhu, untuk membaca surat Al-Kafirun sebelum tidur seperti hadits yang telah disebutkan sebelumnya.
Surat Al-Kafirun juga menjadi salah satu bacaan Al-Quran pembuka aktifitas menjelang pagi, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membacanya dalam shalat sunnah qabliyah Subuh:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَرَأَ فِي رَكْعَتَيِ الْفَجْرِ {قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ}، وَ{قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ}. (رواه مسلم).
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca di dua rakaat sunnah Fajar “Qul Yaa Ayyuhal-Kaafirun” dan “Qul Huwa-Llahu Ahad”. (HR. Imam Muslim)
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Membaca Qul Ya Ayyuhal-Kaafirun dan Qul Huwa-Llahu Ahad di dua rakaat sunnah Fajar lebih aku sukai (daripada yang lain).” (Al-Umm, Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, 1/170).
HIKMAHNYA
Surat Al-Kafirun dan Al-Ikhlas dijadikan sebagai bacaan menjelang tidur atau penutup malam sekaligus pembuka hari. Hal ini merupakan isyarat bahwa seorang muslim harus selalui memperbarui tauhidnya dan melakukan aktifitas ibadah kepada Allah serta menjaga imannya sejak ia memulai sampai ia menutup harinya, serta menjauhkan diri dari kekafiran dan kemusyrikan.
Surat Al-Kafirun yang diawali dengan perintah “Qul” (katakanlah) dijadikan sebagai bacaan menjelang tidur atau penutup malam sekaligus pembuka hari. Hal ini juga isyarat bahwa aktifitas dakwah (mengajak manusia kepada iman dan kebaikan serta menyebarkannya) adalah kegiatan yang tak terpisahkan dari kegiatannya sehari-hari melalui berbagai media dan cara yang dibenarkan. Bahkan ia menjadi sesuatu yang selalu ia pikirkan baik menjelang tidur maupun setelah bangun tidur dan ketika memulai aktifitas di pagi hari.
HUBUNGAN YANG ERAT ANTARA SURAT AL-KAFIRUN DENGAN AL-IKHLAS
Surat Al-Ikhlas berisi pembebasan dari syirik ‘ilmi i’tiqadi (syirik di dalam keyakinan dan pemahaman), sedangkan surat Al-Kafirun mengandung pembebasan dari syirik ‘amali (syirik di dalam perbuatan). (Zad Al-Ma’ad, Ibnu Qayim Al-Jauziyah, 1/306).
Surat Al-Ikhlas menyucikan Allah dari semua yang tak laik bagi-Nya, sedangkan surat Al-Kafirun membebaskan hamba dari segala sesembahan selain Allah. (Mafatih Al-Ghaib, Fakhruddin Ar-Razi, 32/385).
TEMA SURAT AL-KAFIRUN
تَقْرِيْرُ التَّوْحِيْدِ بِالْبَرَاءَةِ مِنَ الشِّرْكِ، وَإِعْلاَنُ الفُرْقَانِ بَيْنَ الإِسْلاَمِ وَالْكُفْرِ.
Penetapan tauhid dengan berlepas diri dari syirik dan pernyataan sikap furqan (perbedaan) antara Islam dengan kekafiran.
Dr. Wahbah Az-Zuhaili rahimahullah menyebutnya sebagai:
سُوْرَةُ الْبَرَاءَةِ مِنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ وَأَعْمَالِ الْمُشْرِكِيْنَ.
Surat pembebasan dari kemusyrikan, kekafiran dan perbuatan orang-orang musyrik. (At-Tafsir Al-Munir, 30/440).
Penjelasan tentang ayat-ayat Surat Al-Kafirun berikut ini semoga memperkuat motivasi kita semua untuk mempelajari bahasa Arab sebagai bahasa Al-Quran dan terus mendalaminya.
AYAT 1
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ
Katakanlah: "Hai orang-orang kafir”
“Qul” (Katakanlah wahai Rasul-Ku): adalah perintah Allah kepada beliau untuk merespon negosiasi yang dilakukan oleh Al-Walid bin Al-Mughirah dan rekan-rekannya agar Rasulullah mau melakukan kompromi dan pencampuran ibadah. Sebuah respon negatif untuk mereka dan jawaban tegas berupa penolakan.
Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan bahwa seruan ayat ini berlaku umum untuk semua orang kafir di muka bumi, meskipun seruan saat ayat ini diturunkan ditujukan untuk kafir Quraisy. (Tafsir Ibnu Katsir, 8/507).
Beberapa ulama tafsir lain berpendapat bahwa yang dimaksud dengan al-kafirun dalam ayat ini adalah orang-orang kafir yang tetap dalam kekafiran mereka hingga akhir hayat, seperti yang terjadi pada Al-Walid bin Mughirah dan rekan-rekannya yang menjadi sebab turunnya ayat ini. Mereka semua tidak beriman kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan meninggal dalam kekafiran. (Tafsir Al-Qurthubi, Syamsuddin Al-Qurthubi, 20/226; Fathul Qadir, Asy-Syaukani, 5/619; Nazhm Ad-Durar, Al-Biqa’i, 22/3012; At-Tafsir Al-Munir, Az-Zuhaili, 30/440).
Orang-orang Quraisy di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dinyatakan kafir oleh Allah meskipun mereka mengakui dan menyatakan Allah sebagai pencipta langit dan bumi, dan biasa menyebut kata Allah dalam pembicaraan mereka.
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ
Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?" Tentu mereka akan menjawab: "Allah". (QS. Al-Ankabut: 61).
Hal ini menegaskan bahwa sekadar percaya bahwa Allah adalah Maha Pencipta, apalagi sekadar percaya bahwa alam ini diciptakan tanpa keyakinan yang jelas siapa Penciptanya, maka semua itu tidak cukup untuk dikatakan beriman kepada Allah dengan benar.
Keimanan dan beragama yang benar bagi manusia yang lahir setelah diutusnya Nabi Muhammad adalah dengan beribadah hanya kepada Allah dengan tata cara yang dijelaskan oleh wahyu Allah yang disampaikan oleh Rasul-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam melalui Al-Quran dan Hadits dan membenarkan semua informasi yang bersumber dari keduanya.
Dalam konteks Quraisy, awal kekafiran mereka adalah pengingkaran mereka kepada kenabian dan kerasulan Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Seruan kepada mereka oleh Rasulullah menggunakan isim fa’il (kata sifat, pelaku) “kafirun” untuk menghinakan mereka dan mengisyaratkan bahwa:
1. Rasulullah tidak pernah takut kepada mereka meskipun beliau memanggil mereka dengan “orang-orang kafir”, sebuah panggilan yang mereka pasti tidak suka. (At-Tahrir wa At-Tanwir, 30/581).
2. Bahwa negosiasi yang mereka lakukan adalah upaya pencampuran tauhid dengan syirik tanpa keraguan sedikitpun, dan momen menjawab negosiasi mereka adalah momen ketegasan, sehingga diperlukan bahasa yang tegas tentang al-furqan (garis pemisah) antara iman dengan kafir yang tidak menimbulkan kesan keraguan atau kelemahan.
3. Seruan dakwah Rasulullah menggunakan bahasa yang sesuai situasi dan kondisi, termasuk dalam memanggil objek dakwah. Beliau menggunakan panggilan umum seperti “Ya Ayyuhan-Nas” (wahai manusia), atau panggilan yang mengandung penghormatan misalnya dengan menyebut suku atau kabilah mereka yang terhormat seperti “Ya Ma’syara Quraisy” (Wahai masyarakat Quraisy) atau “Ya Bani ‘Abdi Manaf” (Wahai anak keturunan Abdu Manaf), .. demi maslahat dakwah yang ingin diwujudkan tanpa melanggar larangan.
AYAT 2 sampai dengan 5
لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ
Beberapa ulama tafsir memaparkan dengan penjelasan yang berbeda. Apakah AYAT 4 adalah sekadar taukid (penguat) bagi AYAT 2, begitu juga AYAT 5 bagi AYAT 3, ataukah ada fungsi dan manfaat lainnya?
PENJELASAN IBNU ‘ASYUR
Ada yang memandang bahwa rangkaian AYAT dari 2 sampai 5 ini memiliki fungsi yang berbeda.
Diantaranya Ibnu ‘Asyur rahimahullah yang menyimpulkan bahwa:
AYAT 2 menjelaskan situasi MASA DEPAN, bahwa Rasulullah tidak akan menyembah sesembahan mereka DI WAKTU MENDATANG.
Dalilnya adalah:
Dalil bahasa Arab, bahwa huruf nafi/negasi لا (tidak) yang masuk ke dalam fi’il mudhari’ (أعبد) mengandung makna negasi di MASA DEPAN.
Juga dapat disimpulkan dari salah satu riwayat sabab nuzul surat ini bahwa mereka menawarkan untuk lebih dahulu beribadah kepada Allah selama setahun, baru setelah itu Rasulullah beribadah menyembah berhala mereka DI TAHUN BERIKUTNYA.
Sehingga maknanya menjadi:
“Aku tidak akan (di masa datang) beribadah kepada apa yang kalian ibadahi.”
AYAT 3 mengandung negasi untuk SAAT SEKARANG, bahwa kalian orang-orang kafir tidak menjadi pelaku ibadah kepada Allah SAAT INI.
Dalilnya:
Dalil bahasa: Negasi atas kalimat yang berbentuk JUMLAH ISMIYAH adalah negasi untuk keadaan SAAT INI. Jumlah ismiyah adalah kalimat yang intinya diawali dengan isim (kata benda), di AYAT 3 ini isimnya adalah dhamir (kata ganti) – أنتم dimana “antum” (kalian) adalah mubtada (kata yang diterangkan), dengan KHABARnya (yang menerangkan) juga ISIM yaitu عابدون.
Juga dapat disimpulkan dari sabab nuzul bahwa mereka siap mulai menyembah Allah SAAT INI dengan syarat tahun berikutnya Rasulullah menyembah berhala mereka.
Maksudnya: kalian wahai tokoh-tokoh Quraisy tidak perlu SAAT INI menjadi pelaku ibadah menyembah Allah jika hal itu kalian lakukan dengan tujuan mencampur adukan keyakinan dan peribadatan, dan supaya tahun depan aku bergantian menyembah berhala kalian. Karena perbuatan itu tidaklah benar.
Sehingga terjemahannya akan menjadi:
“Dan kalian (saat ini) tidak menjadi pelaku ibadah kepada Tuhan yang aku ibadahi.”
AYAT 4 merupakan athaf bagi AYAT 3 (keduanya berkedudukan sejajar, dipisahkan dengan huruf wau) dan sama-sama berbentuk JUMLAH ISMIYAH, sehingga juga mengandung negasi untuk SAAT SEKARANG.
Sehingga maknanya menjadi:
Dan aku (saat ini) tidak menjadi pelaku ibadah kepada apa yang kalian ibadahi.
AYAT 5 merupakan athaf bagi AYAT 4: berfungsi sebagai penegasan perbedaan 180 derajat antara Rasulullah dengan mereka.
AYAT 5 sebagai pengulangan dari AYAT 3: sebagai isyarat bahwa Allah dengan pengetahuan-Nya yang tak dibatasi oleh apapun telah mengetahui bahwa tokoh-tokoh Quraisy yang datang kepada Rasulullah untuk menawarkan negosiasi ini tidak akan pernah sama sekali menyembah Allah sampai akhir hayat mereka. Sekaligus ini menjadi salah satu tanda kenabian atau mu’jizat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
(At-Tahrir wa At-Tanwir, 30/581-583).
PENJELASAN ASY-SYAUKANI
Sementara Asy-Syaukani rahimahullah berpendapat bahwa AYAT 4 adalah taukid (penguat) bagi AYAT 2, dan AYAT 5 adalah taukid bagi AYAT 3. Taukid ini bertujuan untuk membuat mereka putus asa dari keinginan agar Rasulullah mau menerima negosiasi mereka.
Beliau juga menjelaskan bahwa kata ما pada keempat ayat tersebut bisa berposisi sebagai “maushulah” (kata sambung) bermakna objek sesembahan atau yang diibadahi, sehingga terjemahan ayat-ayatnyanya kurang lebih sebagai berikut:
“Aku tidak beribadah kepada apa yang kalian ibadahi. Dan kalian bukan pelaku ibadah kepada Tuhan yang aku ibadahi. Dan aku tidak menjadi pelaku ibadah kepada apa yang kalian ibadahi. Dan kalian tidak (pula) menjadi pelaku ibadah kepada Tuhan yang aku ibadahi."
Atau ما pada keempat ayat tersebut bisa juga sebagai “mashdariyah” (kata benda bentukan dari kata kerja) bermakna ibadah itu sendiri atau tata cara ibadah, sehingga terjemahan ayat-ayatnya kurang lebih sebagai berikut:
“Aku tidak beribadah dengan ibadah yang kalian lakukan. Dan kalian bukan pelaku ibadah dengan ibadah yang aku lakukan. Dan aku tidak menjadi pelaku ibadah dengan ibadah yang kalian lakukan. Dan kalian tidak (pula) menjadi pelaku ibadah dengan ibadah yang aku lakukan."
(Fath Al-Qadir, 5/620-621)
PENJELASAN TAMBAHAN
Penjelasan lain yang berbeda sudut pandang namun menambah kekayaan pemahaman kita terhadap surat ini, diantaranya:
Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mungkin menyembah apa yang mereka sembah. Hal ini diungkapkan sekaligus dengan dua bentuk kalimat:
Pertama, JUMLAH FI’LIYAH (kalimat yang intinya diawali dengan fi’il (kata kerja) - أعبد) yaitu PADA AYAT 2. Jumlah fi’liyah lebih menunjukkan kesan sewaktu-waktu terjadi, maka ketika ia dinafikan berarti perbuatan yang dinafikan (beribadah kepada berhala) itu tidak akan terjadi meskipun hanya sewaktu-waktu.
Kedua, JUMLAH ISMIYAH (kalimat yang intinya diawali dengan isim (kata benda), dalam hal ini adalah dhamir (kata ganti) - أنا) yaitu PADA AYAT 4. Jumlah ismiyah ini lebih menunjukkan sifat pelaku yang relatif tetap, maka ketika ia dinafikan berarti sifat yang dinafikan itu secara relatif konsisten tidak terjadi. (Website Multaqa Ahli At-Tafsir, pada link: http://vb.tafsir.net/tafsir6174/#.Vmqwblf43C4)
Penjelasan di atas merupakan isyarat bahwa KONSISTENSI RASULULLAH shallallahu ‘alaihi wasallam DALAM BERIBADAH KEPADA ALLAH dan menjauhi syirik JAUH LEBIH HEBAT daripada konsistensi orang-orang Quraisy dalam menyembah berhala. Alasannya karena pernyataan tentang orang-orang kafir Allah hanya diungkapkan dengan jumlah ismiyah saja yaitu pada AYAT 3 dan AYAT 5, sementara keadaan Rasulullah diungkapkan dengan jumlah ismiyah dan fi’liyah sekaligus yaitu pada AYAT 2 dan AYAT 4. Dan begitulah hendaknya kita, selalu berupaya sekuat tenaga untuk konsisten beribadah kepada Allah melebihi ibadah orang-orang kafir yang menyembah selain Allah, demi meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. (http://vb.tafsir.net/tafsir26247/#.Vmwvvlf43C4).
Ibnu Katsir mengutip pendapat Abu Al-Abbas Ibnu Taimiyah rahimahumallah:
Bahwa jumlah fi’liyah pada AYAT 2 berfungsi sebagai nafyu al-fi’li (menolak kemungkinan perbuatan itu terjadi pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam), sedangkan jumlah ismiyah pada AYAT 3, 4 dan 5 berfungsi sebagai nafyu al-qabul (menolak kemungkinan hal itu diterima oleh syariat). (Tafsir Ibnu Katsir, 8/508).
Perbuatan menyembah berhala oleh orang-orang kafir diungkapkan dengan fi’il madhi (kata kerja yang menunjukkan masa lalu - عبدتم) untuk menunjukkan bahwa penyembahan berhala telah mereka lakukan sejak lama.
Sedangkan ibadah kepada Allah yang dilakukan oleh Rasulullah diungkapkan dengan fi’il mudhari’ (kata kerja yang menunjukkan masa kini - أعبد) merupakan isyarat bahwa sebelum menerima wahyu beliau tidak mengenal iman dan ibadah yang benar, meskipun beliau tidak pernah menyembah berhala. Seperti dinyatakan dalam firman Allah:
وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحًا مِنْ أَمْرِنَا مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلَا الْإِيمَانُ وَلَكِنْ جَعَلْنَاهُ نُورًا نَهْدِي بِهِ مَنْ نَشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al-Kitab (Al-Quran) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al-Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (QS. Asy-Syura: 52).
Dengan akal sehat dan fitrah yang lurus, mungkin saja seorang manusia sampai pada kesimpulan tentang keesaan Tuhan. Tetapi untuk mengetahui siapa Tuhan sesungguhnya dan bagaimana cara beribadah kepadaNya, manusia tidak akan sampai pada pengenalan dan tata cara beribadah dengan tepat tanpa wahyu dari Allah yang diturunkan kepada Rasul-Nya.
Dr. Wahbah Az-Zuhaili rahimahullah menjelaskan juga bahwa AYAT 2 dan 3 menegaskan perbedaan al-ma’bud (yang diibadahi), dimana Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam beribadah kepada Allah saja, sedangkan mereka orang-orang kafir menyembah berhala atau sesembahan selain Allah.
Sementara AYAT 3 dan 4 menegaskan perbedaan ibadah itu sendiri, dimana ibadah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah ibadah yang murni tanpa kemusyrikan dan tata caranya benar, sedangkan ibadah orang-orang kafir adalah syirik dan batil, sehingga tidak akan pernah keduanya bertemu. (At-Tafsir Al-Munir, 30/441).
AYAT 6
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
Mengandung makna:
1. Bahwa semua agama selain Islam adalah satu kesatuan dalam kebatilan, dan hanya Islam yang benar. (Tafsir Ibnu Katsir, 8/508).
2. Bagi kalian agama kalian yang berisi kemusyrikan, dan bagiku agama tauhid yaitu Islam. (Tafsir Jalalain, hlm 825).
3. Kalian wahai orang-orang yang datang bernegosiasi untuk mencampuradukkan ibadah, bagi kalian agama kalian selamanya, dimana kalian tak akan masuk Islam hingga akhir hayat kalian. Dan bagiku agamaku, dan aku dengan izin Allah tetap istiqamah dalam keislaman. (Ibnu Katsir, 8/508).
4. Bagi kalian balasan amal-amal kalian, dan bagiku balasan amal-amalku. (Tafsir Al-Maraghi, Ahmad bin Mushthafa Al-Maraghi, 30/256). Karena balasan adalah salah satu arti kata ad-din seperti di surat Al-Fatihah ayat 4.
والله أعلم بالصواب
By : Ustadz Wawan
Edisi : Rabu, 12 Oktober 2016
No comments:
Post a Comment