Generasi Salaf Qudwah - FKDI Indonesia

Friday, August 2, 2019

Generasi Salaf Qudwah

Ilustrasi dari Google

Pemateri : Ustadz Rully
Edisi : Jum'at 18 Mei 2017



Allah Jalla wa ‘Ala berfirman: “Telah bertasbih kepada Allah apa saja yang ada di langit dan apa saja yang ada di bumi; dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Wahai orang-orang yang beriman, kenapa engkau mengatakan apa-apa yang engkau tidak lakukan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. Ash Shaff: 1-3)
Dalam Shafwatul Bayan li Ma’anil Qur’an disebutkan, “Kenapa engkau mengatakan perkataan yang kamu tidak benarkan (buktikan) dengan amalmu?” (Syaikh Khalid Abdurrahman al ‘Ak, Shafwatul Bayan li Ma’anil Qur’an al Karim, hal. 551)

Sebab turunnya ayat ini adalah ada seorang sahabat, yakni Abdullah bin Salam Radhiallanu ‘Anhu yang berkata “Seandainya kami mengetahui amal yang paling utama niscaya kami akan mengamalkannya” maka Allah turunkan ayat ini, dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membacanya hingga selesai. (HR. Tirmidzi dan Hakim, ia menshahihkannya, Shafwatul Bayan, Ibid)
Imam Ibnu Katsir –rahimahullah­- dalam tafsirnya berkata tentang لم تقولون ما لا تفعلون (kenapa engkau mengatakan apa-apa yang engkau tidak lakukan?) adalah pengingkaran terhadap orang yang berjanji dengan sebuah janji atau berkata dengan perkataan, tetapi ia tidak menepatinya. Berdalil dari ayat yang mulia ini, sebagian pendapat kaum salaf mengatakan wajibnya menepati janji secara mutlak, sama saja baik yang disertai tekad untuk berjanji atau tidak.

Mereka juga berhujjah dari hadits yang mulia dalam shahihain bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Tanda –tanda orang munafik ada tiga, jika bicara ia dusta, jika berjanji ia ingkar, jika diberi amanah ia khianat.” Juga hadits lain dalam Ash Shahih bahwa, “Ada empat hal yang barang siapa salah satunya telah ada pada diri seseorang maka ia adalah seorang munafik tulen, sampai ia meninggalkannya.” Salah satu yang disebutkan adalah orang yang tidak menepati janji. Allah ‘Azza wa Jalla menguatkan lagi pengingkaran ini dengan ayat كبر مقتا عندالله أن تقول ما لا تفعلون (Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan)
Imam Ahmad dan Imam Abu Daud meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amir bin ar Rabi’ah, ia berkata: Datang kepada kami Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, saat itu saya masih anak-anak, lalu aku keluar untuk bermain. Maka ibuku berkata kepadaku, “Wahai Abdullah kemarilah, aku akan berikan sesuatu untukmu.” Rasulullah berkata kepadanya (ibu), “Apa yang akan engkau berikan kepadanya?”, ia menjawab: “Kurma.” Rasulullah bersabda: “Seandainya engkau tidak melakukan apa yang kamu katakan, maka engkau tercatat sebagai pendusta.” (Imam Ibnu Katsir, Tafsir al Qur’anul ‘Azhim, 4/357)

Dari uraian ini kita bisa pahami, bahwa ucapan seseorang adalah janji, baik yang ditegaskan dengan niat dan tekad untuk berjanji atau tidak. Islam mewajibkan untuk memenuhinya, jika tidak, maka itu bagian dari ciri orang munafik. Seorang muslim wajib menyesuaikan perkataannya dengan perbuatannya, agar ia terhindar dari kebencian Allah ‘Azza wa Jalla yang teramat besar karena itu. Apalagi bagi para da’i, kesesuaian antara ucapan dan perbuatan bukan sekadar menghindar dari label munafik, tetapi merupakan contoh yang berguna dan teladan yang baik bagi orang yang melihatnya. Keteladanan adalah salah satu ‘ibrah yang bisa kita petik dari ayat di atas.
Ini adalah prolog sebelum kita mulai pada inti materi kita
(Al Qudwah ) ( القُدْوَةjuga berarti Al Qadwah, Al Qidwah, dan Al Qidyah yang bermakna ‘apa-apa yang telah engkau ikuti dan engkau biasa dengannya.’ Al Qudwah juga bermakna Al Uswah (contoh), dikatakan لى بك قدوة ‘Liy bika Qudwatun’ (pada dirimu ada contoh untukku) maksudnya adalah Uswah. (Al Munjid fil Lughah wal A’lam, hal. 614)

Pada saat ini, di mana kerusakan dunia boleh dikatakan merata, maka amat wajar bila manusia membutuhkan figur yang bisa diteladani mereka untuk mengantarkan mereka menuju pintu-pintu perbaikan.

Namun, manusia tidak kunjung mendapatkan figur yang diidam-idamkan, justru mereka mendapatkan idola-idola tanpa keteladanan. Alih-alih ingin memperbaiki keadaan, kenyataannya para idola tersebutlah yang menjadi lokomotif kerusakan manusia dan kehidupannya. Mereka mengidolakan orang-orang jahil dan fasiq, seperti sebagian artis dan seniman, pelawak dan atlet.
Akhirnya, mereka tidak mendapatkan apa-apa selain kesatnya hati, kotornya lisan, buntunya pikiran, serta nihilnya perbuatan. Jika mau silakan katakan, bahwa sebagian besar artis telah memberikan kontribusi signifikan bagi kerusakan moral bangsa Indonesia yang mayoritas muslim ini.
Artis artis yg notabene memberikan kontribusi hidup Hedonisme

Konsep Just Having Fun

Permisivisme = Serba Boleh

Melalui pakaian, gaya hidup, pergaulan, ditambah media massa yang mengekspos kehidupan ‘minim keteladanan’ yang mereka sengaja tontonkan, seakan akan mereka ingin meneriakkan ‘Akulah Sang idola’.

Keteladanan, itulah yang hampa saat ini. Saya nasihatkan terutama untuk diri sendiri dan akhwat fillah sekalian untuk senantiasa menempa diri untuk menjadi hamba-Nya yang diridhai aqidahnya, niat, ilmu, amal, lisan dan akhlak secara umum.
Sebenarnya umat ini telah memiliki apa-apa yang dimiliki generasi terbaik dahulu (salafus shalih).
Jika mereka memiliki Al Qur’an dan As Sunnah, umat sekarang juga demikian. Lalu apa yang kurang? Padahal umat ini memiliki apa-apa yang tidak dimiliki umat terdahulu, yaitu pengikut (SDM) yang sangat banyak. Atau justru SDM yang sangat banyak adalah bagian dari masalah?
Saya tidak menyimpulkan, bahwa malapetaka yang dialami umat saat ini lantaran tidak adanya figur teladan seperti Rasulullah ‘Alaihis Shalatu was Salam sebagaimana para sahabat dahulu pernah dibimbingnya. Namun, bisa jadi memang karena ini penyebabnya.

Wallahu a’lam

No comments:

Post a Comment